gravatar

PENYESALAN

“Kamu ngerokok lagi, Bim???”

“Ah,, Nggak kok,, Cuma...”

“Kamu udah janji sama aku, Bimaaa.... Kamu ngingkari janji kamu.. Aku BENCI kamu !!!”

Aku terjerembab lunglai dalam sepi.




Ah, hanya mimpi...

Pagi itu memang tak seperti pagi sebelumnya. Mendung halus mengelilingi kota ini. Tapi, dalam kost kecil ukuran 2,5 m X 3 m ini tetap terasa panas seperti suasana Surabaya kebanyakan. Ayunan lagu dangdut pagi dari radio tetangga mengisyaratkan hari ini akan penuh dengan kebosanan dan kengantukan tingkat tinggi.

“Hooahhmm... Ah, baru jam setengah 8 pagi waktu Surabaya”, desahku pelan.

“APAAAA ???!!!”

“Kurang ajar,, aku ada kuliah jam 8 ini,, masa harus alpha lagi sih,, ah,, harus buru-buru”

Meskipun aku bilang buru-buru, kenyataan yang terjadi adalah :

1. Antri kamar mandi dengan ‘sahabat kost’ laen

2. Di dalam kamar mandi malah siul-siul gak jelas dan boker

3. Pake baju milih-milih dulu

4. Pamit sama ibu kost sambil stretching sebentar (stretching mata, kali aja ada jajan yang bisa gue tilep)

Alhasil, sampai di kampus, kenyataan yang ku dapatkan adalah :

1. Pake kaos kaki gak matching satu sama lain (yang kanan hitam putih, yang kiri merah bergaris)

“Bagus, pasti kerjaan si Deon... Tunggu pembalasanku”,gumamku.

2. Buku kuliah ketinggalan, padahal malah itu yang harus dikumpulin ke Bu Nining ntar.

3. Absensi fingerprint biometrik gagal terus soalnya udah terlambat lebih dari 15 menit.

4. Malu juga masuk kelas dengan berantakan gini, mana aku lupa pake deodoran sama parfum badan nih.

Ah,,,

Budrek..

Bingung...

“Ya udahlah, ke kantin belakang aja, toh ntar pasti ditulis alpha lagi sama komting kelas gue”, ucapku pada gagang pintu kelasku.

Saat di kantin belakang, ternyata cuma aku sendiri aja yang mengalami nasib tragis hari ini.

MBOLOS KULIAH.

“Ah,, biarin, tugas juga belum selesai semua, lumayan bisa ngulur waktu sampe besok ato lusa”.

Aku duduk terpekur di pojokan yang agak bau. Bau yang sangat ku kenal sejak 2 tahun lalu. Bau yang menjerumuskanku ke dalam hinaan yang pedih. Bau yang membuatku tak mau lagi memalingkan wajahku dari kenikmatannya.

Rokok.

“Ini mild...”, pikirku

Ku coba menapaki asal bau tersebut,, rupanya satpam kampusku tertidur dengan tangan masih memegang rokok yang masih menyala.

“Dasar nih kebo, udah tau ngrokok, eh, malah tidur juga”, ucapku lirih.

Ku ambil 2 batang putih memanjang itu dan sebuah geretan besi yang cukup akrab di tanganku.

“Ah, nggak ada siapa-siapa, lumayan gue isep bentar nih”, kataku pada geretan perak itu.

Sekilas, aku merasa geretan ini ringan ringan saja. Tiba-tiba, benda kotak ini jatuh ke tanah, menimbulkan bunyi bergeming yang terasa sakit di telingaku...

“Kamu udah janji sama aku, Bim...”

“Aku sayang kamu, Bim...”

Aku kenal dengan suara itu.

Aku kenal dengan dia.

Rara.

Seorang gadis manis yang selalu tersenyum riang untukku. Tak pernah sedikitpun ia tampakkan wajah sayu dan duka pedihnya padaku.

Seorang gadis yang mengisi hari-hariku dengan cinta dan kesetiaan. Tak pernah sekalipun ia berbuat salah menyakitiku.

Aku mulai tersadar.

Aku mulai merasakan hangatnya pelupuk mataku.

Hangat... Hangat... Semakin hangat...

Perasaan ini tak terbendung lagi.

Air mataku meleleh mengenang sesuatu.

Semakin lama semakin deras...

Aku terisak dalam hening.

Aku menangis dalam rindu.

Aku terluka dalam sepi.

Ku mulai memutar memori perkenalanku dengan barang putih dan geretan perak ini.

5 tahun lalu, aku, ibuku, ayahku, Fira adikku adalah keluarga kecil bahagia.

Tak terlalu tersiksa karena ekonomi yang pas-pas an, namun juga tak terlalu mewah dengan harta benda seadanya.

Ku lewati masa indah SMP dengan gemilang. Juara 1 Olimpiade Matematika tingkat Kota Surabaya, dan Juara 3 umum Peraih DANEM tertinggi waktu itu.

Semua itu berbalik ketika aku kelas XI SMA.

Fira, adikku yang saat itu masih duduk di kelas IX SMP, dan mendekati hari-hari Ujian Nasional, ia mendapat kecelakaan. Sepeda yang ia kendarai ditabrak mobil hitam yang dikendarai sepasang anak muda yang mungkin tengah mabuk. Saat itu menunjukkan jam 5 sore. Fira baru saja pulang dari bimbingan belajar yang memang tak jauh dari rumah kami.

Tiba-tiba, BRAAAKK !!!

Terdengar teriakan takut dari beberapa ibu-ibu, dan umpatan masal dari warga sekitar. Entah bagaimana, mobil itu berhasil kabur. Yang kudapati setelah aku diberi tahu warga adalah bahwa Fira kecelakaan. Ayah dan ibuku bergegas membopongnya, dan melarikannya ke rumah sakit.

Fira kehilangan banyak darah.

Ia koma.

Syarafnya mungkin tak akan kembali normal, melihat pendarahan pada tulang belakang dan kepala bagian belakangnya. Ia juga mendapat banyak jahitan di sekitar lengan kanan dan betisnya.

Demi kesembuhan Fira, ayahku pontang panting mencari tambahan biaya untuk pengobatannya. Aku pun tak tinggal diam. Komputer yang selalu menemani ku setiap selesai Isya, ku jual dengan harga yang pantas, dan ku berikan uangnya kepada ayah.

Namun, Fira tak menunjukkan perubahan yang berarti.

Suatu hari, ketika ayah pulang dari kantor, beliau mengeluh pada ibu bahwa dadanya sesak. Tak lama kemudian, ibu menjerit jerit memanggil namaku melihat ayah tak sadarkan diri dan tergeletak di lantai. Ku bopong beliau, dan ku kirim ke rumah sakit yang sama dengan Fira. Terhitung sejak Fira mendapat kecelakaan adalah 15 hari sampai ayahku jatuh tak sadarkan diri ini. Namun ternyata, 15 hari itu tak seberapa lama ketika ku menyadari hal yang sebenarnya terjadi. Dokter mengatakan ayahku terkena serangan jantung, dan tak tertolong lagi.

Entah bagaimana akhirnya, sejak saat itu,, kelebut awan kembali berganti. Yang bisa ku ingat adalah hitam, kafan, yasin, keranda mayat, nisan, tanah, Fira, jantung, hitam, keranda lagi, dan ayah.

Ya, ayahku telah tiada. Aku bengong seperti orang yang tak ada daya sama sekali. Entah harus menangis atau bagaimana,, aku hanya banyak terdiam.

2 minggu berikutnya, Fira kubawa pulang karena, paling tidak, ia sudah bisa bicara, meski terbata-bata. Ku belikan kursi roda untuk lebih memudahkannya bergerak. Kedua kakinya lumpuh. Ia tak bisa menggerakan tangan kanannya. Kepalanya masih dalam balutan perban. Aku tak kuasa menahan lelehan air mata ini. Sungguh pilu yang ku rasakan.

Siang itu, aku membongkar barang-barang ayahku di lemari kamar belakang untuk disumbangkan ke panti jompo. Mataku terbelalak saat melihat beberapa pack rokok yang masih dalam keadaan tersegel. Aku juga menemukan geretan perak yang mengkilat tergeletak di sudut lemari. Hatiku berkecamuk. Apakah ayahku merokok? Mengapa beliau menyembunyikan semua ini?

Gigi-gigiku bergemelutuk perih, tanda bahwa aku dikhianati nya bulat-bulat. Selama ini aku tidak pernah melihatnya merokok, jangankan merokok, aku tak pernah melihatnya aneh-aneh berdekatan dengan orang yang merokok. Tapi... SIAL!!! Ayah !!! Kenapa !!!

Mulai saat itu, aku memberanikan diriku untuk merokok. Awalnya memang berat. Aku terbatuk batuk saat menghirup bau yang menurutku busuk ini. Namun, hanya rokok lah yang mengerti perasaanku saat ini. Hanya rokok lah yang bisa menemaniku dalam kepedihan dan kesakitan yang mendalam ini. Rokok benar-benar membuatku nyaman, bahkan mengalahkan hangatnya pelukan Rara.

Ah, Rara........

Air mataku meleleh lagi.

Rara adalah kekasihku yang sangat ku cintai dan aku yakin ia sangat mencintaiku pula. Ia menjadi pacarku sejak kelas X SMA. Dia satu sekolah denganku, namun bukan teman sekelasku.

Dia adalah gadis periang yang selalu semangat dalam setiap keadaan. Bahkan saat kakaknya meninggal karena kecelakaan pun ia tetap terlihat tegar dan masih bisa tersenyum manis.

Namun, setelah aku mendaulat rokok menjadi kawan terdekatku, ia mulai berubah. Ah, maksudku aku yang berubah.

Ia sangat sedih saat melihatku menghisap batang itu. Aku yang selama ini tak pernah sedikitpun melihatnya bersedih hingga menangis, merasa sangat bersalah. Aku pun menghentikan isapan ku. Ia pun kembali tersenyum. Namun senyumnya itu tak berlangsung lama. Di berbagai kesempatan yang lain ia sering mendapatiku merokok lagi. Ia sudah berkali-kali memperingatkanku dan mengancamku.

“Bim,, aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak mau terpisah dari kamu... tapi aku juga nggak bisa nerima kamu kalo kamu terus ngerokok kayak gitu... Aku udah nggak tahu harus gimana. Mungkin ini jalan terbaik... Aku minta putus”, ucapnya lirih menahan air mata.

Bagai petir di siang bolong, aku benar-benar kaget saat ia mengucapkan kalimat itu.

“Tt..tunggu, Ra... Aku nggak bisa kayak gini. Aku nggak mau nglepasin kamu. Tolong, Ra”, balasku hambar.

“Nggak bisa, Bim... Aku nggak kuat lagi. Aku nggak mau kamu jadi hancur seperti ini. Aku tahu, sulit nerima kenyataan tentang ayahmu. Aku tahu betapa sakit saat kehilangan orang yang kita sayangi, keluarga kita. Tapi percayalah, Bim,, kamu nggak bisa dengan cara ini. Nggak bisa dengan balas dendam kepada rokok seperti itu. Aku nggak mau, Bim. Kita pu...”

“Ra !!! Aku nggak akan nglepasin kamu. Aku nggak mau putus. Beri aku kesempatan kedua. Aku janji nggak akan ngerokok lagi. Ku mohon, Ra”

Kali ini aku memohon dengan sangat kepada kekasihku ini. Ku genggam tangannya erat menunjukkan kesungguhanku.

Dia diam tak menjawab. Hanya mengangguk lirih.

Ku dekap ia dalam pelukan hangat.

Semoga aku benar-benar bisa menjaga janjiku ini.

Tuhan benar-benar mendengar janjiku, namun Dia tak mengabulkannya.

Saat setelah Ujian Nasional, aku dan geng anak cowok sekelasku merayakan kesudahan ujian ini dengan main futsal dan cangkruk di warung. Jerry yang perokok berat, langsung mengeluarkan rokok internasional model terbaru. Ia menawarkannya pada kami semua. Karena sangat penasaran, dan secara refleks saja, ku sambar rokok itu. Aku mengambil geretan dari tas ku, dan mulai membakarnya.

“BIMAA !!! Kamu ngerokok lagi !!!”

Aku kaget sekaget-kagetnya. Rara berdiri tepat di hadapanku bersama teman-teman nya.

“Kamu ngingkari janji kamu !!! Aku BENCI kamu, Bim !!!”,bentaknya.

“Ra,, tunggu Ra,, aku tadi Cuma...”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kata ku, ia sudah berlari menyeberangi jalan.

“RAAA....RAAA !!!! AWAAASSS !!!”

BRAAAAAKK !!!

“Dokter !! Gimana keadaan Rara!!”, seruku pada dokter yang baru saja keluar dari ICU.

Dokter itu diam sejenak.

Suasana hening seketika.

“Maaf... Maaf... Ia kehilangan banyak darah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin... Ia telah meninggal”, jawab dokter itu.

Ucapan dokter yang sepelan itu, tak mungkin tak terdengar oleh kami semua. Orang tua Rara, Ibuku, Teman-teman Rara, dan aku pribadi,, sangat sedih,, bingung dan gundah...

Ibu Rara menangis sejadi-jadinya. Teman-teman Rara pun tak sedikit yang terisak. Sekedar menenangkan diri atau sedih yang tak terkira, aku berlari keluar ruang tunggu rumah sakit, berlari keluar rumah sakit, menaiki motorku dengan baju seragam yang penuh noda darah Rara, menggeber motor sekeras mungkin, dan berlalu menuju tepi Kenjeran.

Aku berteriak sekeras mungkin sampai tenggorokanku kering. Aku meneriakkan sebuah nama yang sangat ku cintai. Sebuah nama yang selalu ku ingat senyumnya. Sebuah nama yang selalu ada di setiap hariku, menjalaninya, dan setia padaku. Aku tak peduli betapa keras aku berteriak. Aku hanya ingin Rara kembali.

“RARAAAA !!! MAAFKAN AKU, RAA... AKU MEMANG BODOH.. RAA... MAAAFF !!!”

Aku terpekur lemas dan sepi. Isak tangis ini tak mampu menggantikan perasaan terdalam yang tengah bergelombang ini.

Baru sekarang aku mengerti, mengapa Rara sangat mengharapkan aku berhenti merokok. Kini aku tervonis terjangkit kanker paru-paru.

Aku sungguh menyesal tak menghiraukan kata-kata Rara waktu itu. Hal yang sangat sepele saja bisa mengakibatnya luka hati yang begitu perih seperti ini. Andai saja, aku benar-benar menepati janjiku kepada Rara, mungkin saat ini kami masih bisa memadu kasih layaknya muda-mudi lainnya.

Rara, ku doakan kau selalu didampingi malaikat yang benar-benar pantas untukmu. Ku doakan kau selalu bahagia di surga sana dan tetaplah tersenyum sebagai bintang yang menghiasi hariku di dunia fana yang penuh luka ini. Ya, tetaplah tersenyum, sayang. Aku mencintaimu.

Kini, mendung yang melangiti Surabaya beranjak pergi. Tergantikan mentari cerah yang berirama optimis. Aku akan membangun kembali jalanku. Mulai dari nol dan yang pasti, tanpa rokok. Karena,, aku telah menemukan kawan terdekatku yang dulu sempat hilang ditelan cobaan.

Senyuman.

Ku berjalan pasti menuju ke arah matahari menyingsing. Ku putar gagang besi itu dan membukanya dengan penuh kepercayaan diri.

“Maaf Bu, saya terlambat... He he he”.


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Demi kemajuan blog ini, mohon kiranya bersedia memberi komentar

:)

Siapa nama ku?

Google Translate


Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
SEBUAH NAMA SEBUAH CERITA Fahrizal Jauhar Ardi Muttaqien 7411040012 (1 D4 IT A) EEPIS

Entri Populer


Candid

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket